Hibernasi.
Anda mempunyai karya nukilan sendiri? Berminat untuk dipaparkan dan menjadi penulis jemputan di Warna Kaseh? Hantarkan karya anda di warnakaseh@gmail.com. Kami akan menerima semua genre penulisan dan juga bahasa.
ZINE SULUNG WARNA KASEH SUDAH BERADA DI PASARAN. HANYA DENGAN RM8, ANDA BOLEH MEMBACA 32 CERPEN TERBAIK PENULIS WARNA KASEH DI ZINE PILIHAN! JADI APA TUNGGU LAGI? TIADA CETAKAN KE-DUA UNTUK ZINE INI. BELILAH SEMENTARA MASIH ADA STOK.
UNTUK MEMBELI ZINE PILIHAN, ANDA BOLEH MERUJUK DI BAHAGIAN ZINE.
Friday, 27 December 2013
Thursday, 7 November 2013
Kamar Gerah
Kamar
Gerah
Sinar
matahari menyeruak masuk di sela-sela ventilasi, menerangi kamar meski masih
tertutup gorden. Sudah siang, pikirku. Tidur larut malam dan rutinitas yang
berantakan membuatku kesulitan untuk bangun pagi. Kutengok kertas agenda hari
ini, bergumam, "syukurlah, masih ada waktu untuk mengerjakan semuanya
tepat waktu".
Semalam,
kutonton habis semua daftar film di folder 'baru', maksudku, sebagian besar
telah kutonton. Keputusan ini cukup ampuh untuk mengeluarkanku dari kerumunan
suara yang memenuhi otak. Mereka bergumam namun masih bisa didengar; ada pula
yang berteriak, menuntut sesuatu yang harus kukerjakan segera dan sempurna.
Badanku
kewalahan menanggapi satu per satu suara-suara itu. Satu permintaan selesai
kukerjakan, hendak mengurus permintaan yang lain, namun suara yang tadi
menuntut lebih, tak puas dengan kinerjaku. Astaga! Berikan waktu untuk
mengurusi urusanku yang lain dulu, suara-suara lain sudah tidak sabar menanti
gilirannya. Penglihatanku gelap; pikiranku berpindah dari monitor di hadapanku,
diseret paksa suara-suara yang tidak puas dengan hasil kerjaku, tertunduk
mendengarkan serentetan suara yang saling menyahut.
***
Hari
menjelang sore, kurebahkan badan dan melipat satu bantal penyangga kepala.
"Aduh, jangan ditekuk, nanti busanya rusak!" temanku menarik celana
panjangku, hendak meraih bantal. Aku menyeringai jahil. Tidak seperti kamarku,
ruangan ini cukup luas untuk berdua; hanya saja, sedikit gerah karena salah
satu sisi temboknya terpapar sinar matahari.
Temanku
kembali menatap monitor, asyik bermain game online. Dulu aku juga pernah
memainkannya tapi tidak lama; sosok-sosok seperti temanku itu sudah familiar
lah. Tak lama setelah itu, dia berhenti
bermain; berbalik menatapku meski tak jauh dari monitor. "Apa yang kamu
bisa saat itu juga, kerjakan saja, bro. Tidak usah pedulikan soal kesempurnaan
jika memang kamu belum bisa lakukan sekarang," temanku meraih pen yang
tergeletak di atas pentablet; diputar-putar dengan jarinya, lincah. Mulutku
bungkam, mengangguk dan menaikkan alis saja menanggapi sarannya. Lalu
manggut-manggut lagi, menatap kolong meja gelap komputer, merenungi kembali
ucapannya.
pertama.tumblr.com
| October 11, 2013
Thursday, 17 October 2013
Doodle - Tetangga Menyebalkan
Bentakkan itu terdengar semakin
keras, asalnya tak jauh dari sini. Entah apa yang sedang diributkan. Kadang
disusul suara benda dibanting. Kejadian
terserbut terjadi pada suatu sore, di salah satu gang kompleks rumah, setengah
jam sebelum adzan maghrib. Banyak orang
lalu-lalang di gang itu, mungkin mereka selesai bekerja, atau kegiatan lain
yang mengharuskan mereka berada di luar rumah.
Bentakkan itu berasal dari
seorang pria dan wanita di salah satu rumah warga di situ. Yang kutau, mereka
menjadi suami-istri dan tinggal di sini sejak lama. Sepertinya mereka sedang
meributkan masalah pribadi, lagi. Jarak teriakan mereka bahkan masih tedengar
hingga lima rumah di sekitarnya. Lumayan keras untuk membangunkan bayi yang
terlelap saat itu.
Warga yang ada di sekitar situ,
walaupun tak sengaja, pasti mendengar teriakan tersebut. Ada seseorang yang
baru pulang dari tempat usaha laundry-nya; seseorang yang baru selesai bekerja
kuli bangunan; pengangguran yang beringsut keluar dari persembunyian, kembali
berkumpul di perempatan jalan; seorang penjual mie ayam keliling mendekati
mereka, menggodanya dengan aroma barang dagangannya. Mereka bersikap biasa saja
, seolah tak terjadi apapun.
Sudah bertahun-tahun kami
mengenal pasangan suami-istri itu. Bahkan kami sudah terbiasa dengan tabiat
mereka. Walaupun demikian, aku tak habis pikir mereka tak belajar dari
pengalaman yang sudah-sudah dan meributkan hal yang sama. Suami-istri itu tak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain tak pernah rukun, mereka
pun merasa tak punya andil untuk ikut menjaga kenyamanan dan ketenangan
lingkungan di situ.
Bagaimanapun juga, mereka
tetaplah manusia. Sudah menjadi kodrat bahwa manusia tak ada yang sempurna.
Ketidaktauan, ketidakpekaan, dan ketidakpedulian orang-orang seperti itu adalah
hasil dari rentetan kebiasaan, kondisi lingkungan, dan berbagai pengalaman masa
lalu; yang membentuk karakter setiap orang.
Wednesday, 25 September 2013
Saking Emosi
Tirto menarik gas motornya
kesetanan! Uang yang dikumpulkannya berbulan-bulan dari sebagian gajinya, ia
belikan knalpot modifikasi. Dia sudah muak bersabar tiap hari mendengar
pertengkaran rumah tangga tetangga di seberang rumahnya. Tirto pikir, mungkin dengan
cara ini mereka akan sadar bahwa teriakan mereka hampir sekeras letupan knalpot
barunya. Memikirkan angsuran motornya yang belum lunas, nanti dulu lah.
Tirto masih tinggal serumah
dengan orang tuanya. Biasanya, Tirto mendengar orang tuanya sedang membicarakan
tetangga seberang rumah dengan tetangga lainnya. Bukan, mereka tidak
membicarakan aibnya, melainkan mengeluh bahwa mengapa mereka harus ikut
mendengar pertengkaran itu. Sesekali mereka sindir ketika pertengkaran
tetangganya itu tengah berkobar. Mungkin tersulut omongan mereka, ditambah lagi
keluarga yang mengganggu itu tak peka terhadap sindiran, karena itulah Tirto
mengambil jalan lain untuk “menyindir”, itung-itung meluapkan kekesalannya.
Sudah seminggu lebih Tirto telah
melakukannya, keluarga yang berisik itu belum menunjukkan perubahan. Dia tak
habis pikir, mengapa mereka bertengkar tiap hari; pasti setiap pagi, apalagi
sore, malam harinya jarang terjadi.
Tetangga lainnya tambah terganggu
karena kehadiran suara knalpot yang keras itu. Ibunya yang memberitau.
Beruntunglah ada ibu tetangga lainnya yang tak sungkan mengatakannya. Tirto
berpikir keras agar kejadian ini tak terulang kembali. Rupanya, Tirto belum
memperhitungkan dampaknya sejauh itu.
Hari-hari berikutnya, keluarga di
seberang rumah Tirto masih ribut seperti biasa. Tirto mengatupkan mulutnya,
seolah menelan pil pahit, lalu menghela napas. Dia berlama-lama sarapan sambil
memutar musik dangdut. Yah, dia tak terpikirkan kegiatan yang lain untuk
menunggu jemputan teman kerjanya.
Suara mesin motor yang tak asing
itu tiba, teman kerjanya menjemput. Tirto haris sedikit lebih sabar lagi
menunggu knalpot barunya ada yang mau membeli. Dia berencana untuk mengganti
dengan knalpot yang lebih ramah suara. Teman kerjanya tertawa geli, dialah orang
yang menemani Tirto ketika Tirto menjual knalpot standarnya untuk tambahan dana
pembelian knalpot baru.
Sunday, 18 August 2013
Rezeki
Penulis: Putery Raina
Aku bermohon pada Yang Esa...
Murahkan rezeki ku setiap masa...
Walau doaku tidak tercapai...
Aku tetap tidak berputus asa...
Hanya Allah yang mengenaliku...
Sehinanya dan kejinya aku....
Baik dan mulianya aku.....
Hanya Allah yang tahu...
Bila aku berusaha...
Aku teruja ingin berjaya....
Aku menitiskan airmata...
Memohon rezeki yang ada...
Tolonglah ya Allah...
Aku hidup hanya sekali laluan....
Aku mohon keinsafan...
Bila makbulnya rezeki dari mu...
Jangan kau butakan hati ku...
Takbur dan sombongnya aku...
Kerana aku ingin membantu insan sekelilingku...
Berapa ramaikah insan yang ingat rezeki...
semua berdengki dan busuk hati...
Tahukah kalian rezeki tuhan...
Tak kekal, tak mudah dijaga...
Tak mudah diguna
Penentu pintu syurga dan neraka
Ya Allah, aku mahu rezekimu itu...
Tapi aku mahu rezeki yang aku ingat...
Rezeki yang membawa aku...
Ke destinasi yang diredhai...
Jika lahirnya rezeki itu bukan milikku...
Tak mengapalah ya Allah...
Cuma aku pinta, mati dan imanku...
Biarlah REZEKI jasad yang sempurna...
Amin, ya Allah...
Sunday, 11 August 2013
Cintai Bulan Ramadhan
Penulis: Putery Raina
Bulan mulia kembali lagi....
Bulan dinanti penuh makna sendiri...
Akuilah dosa-dosa silam...
Inilah bulan untuk keberkatan...
Ramadhan cahaya yang suci...
Tak semua umat mencintai bulan ini...
Tapi aku muhasabah diri
Walau banyak hinanya diri...
Satu tahun hanya sekali...
Ibarat hari lahir sendiri...
Tapi siapa yang ambil peduli...
Hanya melalui dengan penuh kelalaian hati...
Ya Allah, aku hamba yang serba kedaifan...
Aku lupa cahaya iman...
Aku buta pada papan nyawa...
Aku leka dengan dunia...
Pada bulan yang Kau cipta penuh syurga....
Aku jadi kaku...tersendu dan malu...
Apabila datangnya sinaran Ramadhan...
Aku takut tak dapat memilikinya...
Tiada rahmat dari tuhan....
Sedarlah wahai insan...
Cintai bulan Ramadhan...
Jangan difikirkan duniawi...
Tiada bekal hidup ketika mati...
Andai ini Ramadhan terakhir...
Tiada siapa mengetahui...
Laluilah dengan penuh kesabaran...
Walau nyawa jadi taruhan...
Akan ku tempuh walau kekurangan...
Akan ku terus berbangga...
Kerana aku dilahirkan untuk ke syurga...
Walau aku perlu mencari tiketnya sentiasa...
Dimana dan ke mana haluan...
Pada hati dan imanlah yang menentukan...
Thursday, 8 August 2013
Tuesday, 6 August 2013
Sepi si tua
Aku memandang sepi cuma. Nak berkata tak mampu. Nak bergerak
ku kaku. Wajah tua yang tak asing lagi cuma mampu ku renung dalam-dalam. Lemah tak
bermaya wajahnya yang terlantar. Apa salahnya? Hingga dia tersadai sendiri. Aku
juga masih punya pelawat walaupun hari bersilih ganti. Tapi dia? Dia keseorangan.
Gering sendiri.
“Nurse, macam mana patient ni? Ada ahli keluarga datang?” Perempuan
itu menggeleng. Lengkap berbaju putih kemas namun ku rasa agak seksi. Aku hanya
memandang sayu dari kejauhan.
“Awak okey?” Tanya doktor setelah dia meneliti laporan tahap
kesihatan aku. Aku cuma mengangguk. Fikiranku masih lagi menerawang jauh. Rasa kasih
dan kasihanku tertumpah ke wajah nenek tua yang katilnya bertentangan dengan
aku. Adakala aku mendekatkan diri. Memberi dia minum saat dia dahaga. Memberi urutan
saat dia gelisah tak mampu lena. Aku jatuh kasihan. Apatah lagi dia tiada yang
melawat. Menjaga keperluannya apatah lagi.
Pernah aku tanyakan, mana perginya anak dia. Dia cuma
menggeleng dan mengalirkan air mata sayu. Aku tak jadi meneruskan niat bertanya
lebih lanjut. Bimbang aku pula yang tak mampu menahan sebak di dada.
“Ada rasa sakit tak masa berjalan? Buang air?” Aku menggeleng
semata.
“Awak kenapa sedih? Patutnya awak happy tau, sebab esok awak
dah boleh keluar. Nanti saya senaraikan ubat untuk awak. Bagitau ahli keluarga
lain. Selamat menyambut hari raya ye Iffah…” Lagi sayu aku mendengar perkataan
raya dari mulut lelaki itu. Doktor Borhan setia menjaga aku selama empat hari
aku di sini. Terlantar gara-gara keracunan makanan.
“Saya suka. Terima kasih doc. Tapikan, saya nak tanya sikit
boleh?” Aku mula melontarkan seribu persoalan. Rupanya pihak hospital sengaja
menahannya di wad kerana tiada siapa pun pedulikannya. Malah di nursery
penjagaan orang tua pun sudah tak mampu menjaganya. Walaupun nenek itu sakit
tua, tapi pihak hospital dengan rasa belas, menumpangkan nenek itu. Aku yang mendengar
cerita itu terus menangis teresak.
“Sampainya hati anak-anak dia…” Itu saja yang lahir dari
mulutku. Itu semua cerita setahun yang lalu. Saat nenek itu masih bernyawa. Kini
dia telah pergi menghadap ilahi. Aku doakan dia tenang di sana bersama Sang
Pencipta.
Setelah aku mendengar kisah anak-anak nenek itu tegar
menghantarkan nenek itu ke pusat penjagaan orang tua dan langsung tak menjenguk
apatah lagi memberi wang pembiayaan, aku tekad meminta keluargaku membawa nenek
itu pulang. Biarlah aku sebagai saudara seislam menjaganya. Aku pun tak pernah
merasai kehangatan kasih sayang seorang nenek. Nenek itu dijaga oleh keluargaku
hinggalah saat terakhirnya. Aku bangga kerna aku berkesempatan membahagiakan
dia walau sekejap cuma. Nenek itu tak bersalah kerana punya anak sebegitu. Bukan
salah didikannya, bukan salah asuhannya. Cuma inilah ujian yang Allah turunkan
untuknya. Nenek pergi dengan tenang buat selamanya. Hingga kini aku masih
mendoakan dia di sana. Semoga bahagia yang abadi milikmu, Nek!
Sunday, 4 August 2013
Ikemen Butler - Episod 5 (Akhir)
Episod 1 | Episod 2 | Episod 3 | Episod 4
“Wah, tak rugi aku ambil cuti
panjang-panjang. Boleh tengok kau kahwin!” Aliya bersuara sambil memeluk tubuh
Qairina sedang khusyuk menonton drama kegemarannya di ruang tamu.
“Ish, kau ni. Kau pun tak betul
jugak. Balik Malaysia seminggu lepas tu kau muncul balik kat sini. Terkejut aku
tengok kau dok tersengih depan muka pintu kelmarin tau.” Qairina Mencebik.
“Alah, aku balik renew visa, tolong-tolong ibu kau apa
yang patut, lepas tu aku flylah balik
sini. I’m a tourist guide okay. That’s
just a simple task for me.” Aliya mencapai cawan yang berisi ais krim di
hadapannya.
“So, kau tolong apa je?” soal
Qirina lagi.
“Tolonglah apa-apa yang patut.
Minggu depankan family kau nak datang
sini. Haritu aku datang rumah kau hantar kain yang Kak Long kau pesan tu, Along
kau tengah ceramah si Rifqi tu dekat Skype.
Comel je aku tengok.” Aliya ketawa kecil.
“Ceh, benda lain pulak yang kau
buat.” Qairina mencebik lagi.
“Aku ada story tau. Kau nak tahu tak kenapa Hakim tiba-tiba muncul kat
sini?” soal Aliya. Qairina hanya diam tanpa menoleh. Matanya difokuskan pada
kaca televisyen.
“Kalau kau tak nak dengar pun aku
nak cerita jugak. Nurin accident.
Separuh badan dia lumpuh. Itu yang si Hakim tu tiba-tiba nak rujuk dengan kau.
Abang Nurin cari dia, belasah dia cukup-cukup. Sebab Hakim yang drive time diorang accident tu. Tak sedar diuntung betul si mamat tu. Sekarang ni, family dia dengan Nurin dah sepakat.
Diorang nak kahwinkan aje budak berdua tu. Hakim pun macam dah sedar diri
sikit. Aku harap diorang akan bahagialah. At least, Nurin tu pernah jadi kawan
baik aku dulu.” Aliya bercerita.
“Nurin pun best friend aku jugak dulu. Kau ingat senang ke nak lupakan dia
lepas semua yang kita dah buat time sekolah dulu. Walau apa pun yang jadi, kita
sama-sama doakan agar Hakim dengan Nurin akan akan baik macam dulu. Asalkan
diorang dah tak kacau hidup kita bukan-bukan lagi pun aku dah cukup bersyukur.”
Qairina bersuara perlahan.
“So, stop those entire sad stories. Apa plan kau lepas kahwin nanti?
Aku yang beria-ia bertunang bagai, kau pulak yang tiba-tiba kahwin dulu.” Aliya
segera menukar topik.
“Honeymoon.” Qairina menjawab.
“Amboi, gatal! Honeymoon kat mana?” soal Aliya ingin tahu.
“Malaysialah. Kan ke kau kahwin
lagi dua bulan? Nanti ada pulak orang tak jadi kahwin sebab bridesmaid dia tak
balik Malaysia.” Qairina menjawab sambil ketawa kecil.
“Ceh, aku ingat kau semangat
patriotik sangat nak honeymoon kat
Malaysia.” Aliya membaling bantal kecil di dalam pelukannya ke arah Qairina.
Qairina hanya ketawa dan membaling semula bantal tersebut ke arah Aliya sebelum
mereka sama-sama ketawa.
******************************************************************************
Mungkin Qairina ada kisah lalu yang
membuatkan dia lari dari kehidupannya yang sebenar. Namun, sesungguhnya ALLAH
itu Maha Penyayang. ALLAH memeberikan dugaan agar kita sedar ada jalan yang
lebih baik di hadapan kita.
Walau apa pun yang terjadi, Qairin
sudah berjanji yang dia tidak akan lemah lagi. kini, dia tidak akan
bersendirian lagi. Dia berharap agar jalan yang dipilihnya kali ini adalah
jalan yang betul. Walaupun jalannya masih panjang dan penuh liku, kali ini, dia
akan kuat. kerana dia yakin dia masih punya ramai insan-insan yang akan
menyokongnya dari belakang. Semoga kebahagian akan menjadi miliknya kini dan
selama-lamanya.
TAMAT.
Sunday, 28 July 2013
Ikemen Butler - Episod 4
Episod 1 | Episod 2 | Episod 3
“Amboi berseri bukan main muka kau
sekarang. Untunglah dah ada boyfriend.”
Aliya membaringkan tubuhnya di atas katil milik Qairina. Dia sengaja mengambil
cuti dan datang ke Jepun untuk melawat sahabat baiknya itu.
“Boyfriend mana pulak kau ni?” soal Qairina sambil menyimpan baju
yang baru sahaja dilipatnya ke dalam laci.
“Buat-buat tak faham konon. Si
Rifqi Haikal tu bukan boyfriend kau
ke?” usik Aliya.
“Mana pulak. Aku kawan je dengan
dia. Macam dia cakap tadi, dia butler
aku. So, sebab kau kawan baik aku, butler aku, kira butler kau jugak.”
Qairina membalas pendek dan duduk di sisi katil.
“Butler ye? Ikemen butler.”
Aliya ketawa kecil.
“Ikemen butler? Kau rasa dia handsome?”
soal Qairina semula. Ikemen = Handsome.
“Kau tak rasa dia handsome ke? At least handsomelah daripada ex-boyfriend
kau yang sebelum ni. Takkan kau nak muka jambu macam artis Jepun baru kau
nak jatuh cinta kot? Agak-agaklah sikit.” Aliya membaling bantal kecil dalam
pelukannya pada Qairina.
“Hmmm, interesting question. Kenapa aku kena jatuh cinta dengan dia
pulak?” soal Qairina hairan.
“Cik Amni Qairina, si Rifqi Haikal
tu cukup pakej okay. Kau nak yang macam mana lagi? Ada rupa, ada duit, ada
pelajaran, ilmu agama dia je aku tak kaji lagi. Tapi berdasarkan cerita kau
lepas balik dari tour haritu aku rasa
he’s not bad. Okay apa?” soal Aliya
lagi.
“Cukuplah, Liya. Aku dah serik.”
Qairina akhirnya menuturkan.
“Serik? Nina, dalam dunia ni
bukannya semua lelaki sama macam si Hakim tu? Sampai bila kau nak larikan diri
macam ni? From the look outside pun
aku boleh rasa dia betul-betul sukakan kau, Nina.” Aliya memberi nasihat.
“Amboi, pandai kau buat conclusion kan? Mana kau tahu? Ikut suka
je.” Qairina mencebik.
“It’s called a friend’s instinct. Percayalah, Nina. Kau jangan
terkejut kalau satu hari nanti tiba-tiba dia melamar kau sudah.” Aliya ketawa
kecil.
“Maybe. Who knows, right?” Qairina hanya tersenyum kecil.
“Kalau betul apa kau akan buat?”
soal Aliya.
“Mungkin aku akan consider. Tapi bukan sekarang. Maybe after two or three years? Lepas
habis PhD aku fikir balik fasal ni.” Qairina menjawab senang.
“Ewah, ikut suka hati kau aja nak
buat keputusan. Kau tu bukannya makin muda mak cik!” Aliya mencebik.
“Eleh, cakap orang, kau tu pun
sama. Kau tu tak makin tua?” Qairina membuat serangan balas.
“Aku dah ada calon.” Aliya ketawa
sendiri.
“What?! Bukannya nak cerita kat aku! Bencilah kau ni.” Qairina
membaling semula bantal di tangannya pada Aliya.
“Aku nak ceritalah ni. Sebab tulah
aku ambil cuti datang sini. Nak harap kau balik Malaysia memang terus makan
nasi minyak kenduri aku jelah.” Aliya ketawa kecil.
“Ceritalah.” Qairina melompat naik
ke atas katil dan duduk di sebelah Aliya, bersedia untuk mendengar cerita
sahabatnya itu. Malam yang panjang itu diisi dengan cerita Aliya dan Luqman.
******************************************************************************
Aliya masih lagi ketawa kecil
sambil berjalan beriringan dengan Qairina pulang ke rumah sewa milik Qairina.
“Ei, kau ni. Dah-dahlah gelak tu.” Qairina menggigit bibirnya.
“Kan aku dah cakap dia ada hati kat
kau. Kau bukannya nak percaya cakap aku.” Aliya bersuara dalam tawa. Qairina
mencebikkan bibirnya dan terus berjalan laju sambil dikejar oleh Aliya dari
belakang.
PERISTIWA 1 JAM
YANG LALU
“Kenapa aku kena teman kau? Nak dating pergi berdualah.” Aliya mengusik
Qairina sambil mereka berjalan menuju ke Café Yuuki, di mana Rifqi dan Nisha
sedang menunggu.
“Dahtu, rajin pulak kau nak duduk
sorang-sorang kat rumah?” Qairina membalas usikan Aliya.
“Aku ada Luqman apa. Boleh call ke, mesej ke, skype ke. Banyak lagi kerja aku boleh buatlah. Aku yang jejak kaki
ke Jepun dulu sebelum kau. Semua jalan kat Ibaraki ni aku dah hafal. Jangan
lupa tu.” Aliya mengingatkan.
“Dahlah, bisinglah kau ni. Teman
jelah aku.” Qairina menarik tangan Aliya agar melajukan langkah mereka.
Seketika kemudian, mereka tiba di hadapan pintu masuk Café Yuuki itu.
“Masuklah. Yang kau jadi tiang
bendera kat depan pintu ni, kenapa?” Aliya mendahului Qairina. Dia menolak
pintu kaca tersebut dan menarik Qairina masuk sambil matanya melilau mencari
Rifqi.
Rifqi menyambut mereka dengan
senyuman. “Aliya, tak ada plan nak pergi mana-mana ke hari ni?” soalnya.
“Tak ada pun. Dah selalu dah jalan
kat sini. Kali ni memang datang nak jumpa dengan Nina je. So, ikut je dia pergi mana-mana.” Aliya menerangkan.
“Oh, ye ke? Ingatkan Aliya ada plan
lain. Tapi thanks sebab temankan Nina
datang sini. Kalau suruh dia datang sorang memang dia tak akan datang.” Rifqi
tersenyum melihat Qairina membuat muka padanya.
“La, ye ke? Patutlah pun.” Aliya
tersenyum kecil. Dia menyiku perlahan bahu Qairina yang masih tunduk di
sisinya.
“So, nak order apa-apa
tak?” soal Rifqi.
“Errm, two hot chocolate.” Aliya membuat pesanan pada pelayan. Pelayan itu
mengangguk sebelum berlalu.
Suasana sepi seketika. Aliya dan
Rifqi bertukar pandangan. Aliya segera memahami isyarat yang cuba disampaikan
oleh Rifqi. Dia menyiku Qairina yang masih menunduk. “Aku nak pergi ladies jap.” Diasegera bangkit sebelum
Qairina sempat berbuat apa-apa. Aliya berjalan ke kaunter dan berdiri di
sebalik dinding. Tempat paling selamat untuk dia memerhati apa yang akan
terjadi.
“Saya nak cakap something dengan awak, Nina.” Rifqi
memulakan bicaranya.
“Uh? Err…huh?” Qairina tidak tahu
bagaimana mahu membalas. Aliya sudah terasa ingin mengetuk kepalanya ke dinding
saat itu namun disabarkan hatinya.
“Saya nak cakap something, bukan nak tanya soalan.”
Rifqi tersenyum kecil.
“Errmm, apa dia?” Akhirnya Qairina
bertanya.
“Hantaran kahwin awak berapa ya?”
soal Rifqi dengan senyuman yang masih terukir di bibirnya. Qairina spontan
mengangkat wajah memandang Rifqi di hadapannya.
“Entahlah. Saya pun tak sure. Saya pernah bertunang je, tak jadi
kahwin pun.” Spontan juga Qairina menjawab.
“Awak rasa?” soal Rifqi lagi.
“Saya tak tahulah. Kenapa awak nak
tahu? Penting ke? Kalau penting, saya boleh call
ayah saya sekarang, tanya dia. Dia tahu rasanya.” Qairina menjawab dengan
senyuman nakal.
“Kalau macam tu, biar saya je yang
cakap dengan ayah awak.” Rifqi juga pintar menjawab.
“Nak buat apa cakap dengan ayah
saya?” soal Qairina semula.
“Nak minta izin kahwin dengan anak
dia? Itupun kalau anak dia setujulah.” Terus-terang Rifqi menyatakan hasrat
hatinya.
“Huh?” Terkejut Qairina mendengar
bicara Rifqi secara tiba-tiba itu. “Apa awak cakap ni?”
“Saya serius. Saya nak Amni Qairina
jadi isteri saya. Boleh?” Rifqi bertanya sekali lagi.
“Awak serius?” soal Qairina semula.
Rifqi mengangguk.
“Awak sanggup terima saya walau
apapun yang terjadi?” Rifqi mengangguk lagi.
“Awak takkan tiba-tiba suka pada
orang lain suatu hari nanti?” soal Qairina lagi.
“Apa yang buat awak fikir macam
tu?” soal Rifqi pula.
“Saya dah pernah kena, Rifqi. Saya
tak mahu sejarah lama berulang lagi. Saya dah serik.” Qairina berterus-terang.
“Saya bukan Hakim, Nina. Saya
nampak awak seorang je. Dari kali pertama kita jumpa lagi.” Rifqi bersuara
meyakinkan Qairina.
“Memanglah awak bukan Hakim. Tapi
saya ni biasa-biasa je. Manalah tahu suatu hari nanti awak jumpa orang lain…”
Kata-kata Qairina segera dipotong
oleh Rifqi. “Kalau saya nak orang lain, saya tak akan tunggu awak, Nina. Saya
bukan muda lagi nak tunggu bidadari jatuh dari langit. Saya tak nak orang lain
pun. Saya cuma nak Amni Qairina. Kalaupun saya ada orang lain, awak ingat Nisha
akan diam macam tu je? Mungkin saya akan mati kena kerat 18 dengan dia sebelum
saya sempat bagitau awak pun.” Rifqi berjenaka.
“Tapi, Rifqi…” Qairina masih cuba
membantah.
“Nina, saya tak suruh awak jawab
sekarang. Awak balik dulu, istikharah dan bila awak dah yakin, awak boleh
bagitau dengan saya. Tak kisahlah sebulan atau setahun. Saya akan tunggu
jawapan awak.” Rifqi meyakinkan.
“Kalau sepuluh tahun?” Qairina
mengusik.
“Kalau lepas sepuluh tahun awak
setuju tak apalah. Kalau lepas sepuluh tahun awak tak setuju awak nak suruh
saya jadi bujang terlajak ke cik Amni Qairina oii?” Rifqi menjawab sambil
ketawa.
“Saya yakin dengan jodoh yang ALLAH
dah tuliskan untuk kita, Qairina. Kalau ada jodoh kita, selama mana pun saya akan
tunggu.” Raifqi sudah kembali pada mood serius.
“In sya-ALLAH. Saya akan cuba bagi
jawapan dalam masa terdekat ni.” Qairina tersenyum.
“Amin.” Entah dari mana Aliya
muncul dan mengambil tempatnya di sisi Qairina semula.
“Eh, kau curi dengar ke?” soal Qairina.
“Dah tu, kau ajak aku datang buat
apa?” Aliya membalas sambil menghirup hot chocolatenya di atas meja.
“Budak ni, kan!” Qairina mencubit
kecil lengan Aliya.
“Sakitlah. Tak malu ke kat Rifqi
tu?” Aliya cuba mempertahankan dirinya dari menjadi mangsa ‘ketam-ketam’ yang
mula bekerja itu. Qairina tersedar dan kembali duduk dengan sopan. Rifqi hanya
tersenyu melihat telatah pasangan sahabat itu. Mereka berbual kosong seketika
sebelum Qairina mengajak Aliya pulang dnegan alasan mahu menyiapkan kerjanya untuk
minggu depan. Malulah tu!
******************************************************************************
“Masak apa tu?” soal Aliya pada
Qairina di dapur.
“Udon sup.” Qairina menjawab sambil
mengacau sup di atas dapur.
“Sedapnya bau. Dah boleh kahwin dah
ni.” Aliya mengusik.
“Amboi, sibuknya kawan aku yang
seorang ni nak suruh aku kahwin. Yang kau tu, lama benar cuti?” Qairina
membalas.
“Oh, aku ada last tour next two months sebelum aku berhenti terus. So, before that, aku boleh duduk berapa
lama yang aku suka kat sini.” Aliya membuat muka.
“Banyaklah kau punya ikut suka.
Visa dengan flight ticket kau macam
mana?” soal Qairina semula.
“Aku cakap kat kau seminggu. Tourist visa aku sebenarnya sebulan. Aku
ingat nak duduk dengan kau seminggu je. Tapi, crucial time macam ni, mana boleh aku tinggal kau sorang-sorang.
Aku nak jugak tahu apa kesudahan kisah Amni Qairina dengan Rifqi Haikal ni.”
Aliya masih tidak sudah-sudah mengusik temannya itu.
“Kau ni…” Ketukan di pintu
mematikan perbualan antara Qairina dan Aliya. “Kau tengokkan sup aku kejap,
okay?” Qairina mencapai tudungnya dan berlalu ke pintu utama.
“Kak Nina, ada orang nak jumpa
akak. Dia tanya rumah akak kat mana. Kitorang takut nak bagitau so, saya cakap tak tahu.” Nadiah, salah
seorang pelajar Malaysia yang tinggal berhampiran dengan rumahnya memberitahu.
“Siapa?” soal Qairina ingin tahu.
“Tak kenal. Lelaki dari dari
Malaysia katanya. Firdaus bawa dia tunggu kat Yuuki sementara kitorang bagitau
akak.” Nadiah menerangkan.
“Wah, ada lagi pelawat dari Malaysia?”
Aliya yang baru sahaja tiba menyampuk. “Tanya tak nama dia siapa?”
“Ala, lupalah nak tanya tadi. Sorry.” Nadiah menjawab perlahan.
“Tak apa, nanti Kak Nina jumpa dia
kat Yuuki. Thanks, Nad.” Qairina
tersenyum sebelum Nadiah berlalu.
“Siapa, Nina?” soal Aliya ingin
tahu.
“Manalah aku tahu.” Qairina
menjawab malas dan menghilangkan diri ke dalam biliknya sebelum muncul semula.
“Liya, teman aku nak?” ajak Qairina.
“Tak naklah aku. Sekali Rifiqi yang
datang. Nak buat surprise ke?” Aliya
menolak.
“Taklah, kalau Rifqi, dia nak buat surprise pun, buat apa dia nak tanya
orang rumah aku kat mana, baik dia suruh je Nadiah suruh aku pergi Yuuki terus.
Jomlah, Liya.” Qairina memujuk.
“Yalah, yalah. Kau ni…” Aliya juga
turut bersiap sebelum mereka sama-sama keluar menuju Café Yuuki.
“Kau agak-agak siapa? Lelaki pulak
tu?” Aliya bertanya sambil mereka berjalan menuju ke Café Yuuki.
“Entahlah, mungkin…” Langkah
Qairina mati melihat susuk tubuh yang dikenalinya yang sedang berbual dengan
Firdaus. Dia terus sahaja melangkah keluar sambil diikuti Aliya.
“Airin! We need to talk.” Lengannya ditarik secara tiba-tiba.
“Lepaslah! Saya bukan Nurin!”
Qairina menrentap lengannya dari pegangan lelaki itu.
“Okay, saya minta maaf. We really need to talk.” Lelaki itu
bersuara memujuk.
“You come all the way to Japan just to say we need to talk? Awak ni
dah betul-betul hilang akal ke?” soal Qairina dengan nada marah.
“Airin, calm down please. Saya nak buat macam mana lagi? Setahun saya cari
awak lepas awak hantar notis berhenti kerja dulu tau. Please, just listen to me once.” Lelaki itu
masih cuba menenangkan Qairina sambil diperhatikan oleh Aliya dan Firdaus.
“Yeah, make it short, Hakim.” Qairina akhirnya mengalah. Dia
melangkah dan duduk di kerusi yang disediakan di taman kecil tidak jauh dari
Café Yuuki sebentar tadi.
“Let’s start all over again?” Ayat itu membuatkan Qairina spontan
bangkit dari duduknya.
“No, thanks.” Terus sahaja dia berlalu namun lengannya sekali lagi
ditarik. “Let me go, Hakim!” Qairina
terasa darahnya menggelegak kala itu.
“Nope. Until you gave me an exact answer.” Hakim berkeras.
“Ni jawapan kau.” Satu tumbukan
singgah di wajah Hakim. Spontan lengan Qairina dilepaskan dan Hakim terduduk ke
lantai. “Kau ingat aku nak berdiam diri je tengok apa yang kau dah buat pada
Nina selama ni? Baliklah, Hakim. Stop
doing useless things.” Aliya berdiri di sisi Qairina.
“You have no right to intrude, Aliya.” Hakim bangkit dan memandang
kedua-duanya.
“No right? Siapa awak nak cakap fasal hak semua? You are the intruder! Awak datang sini
dan cakap let’s start all over again?
Just like before? And suddenly throw me away again? No, thanks.” Qairina
menarik tangan Aliya dan mereka terus sahaja berlalu pergi meninggalkan Hakim
sendirian di situ.
“Kau ni biar betul.” Qairina
bersuara setelah agak lama kedua-duanya mendiamkan diri.
“Apa?” soal Aliya semula.
“Selamba je kau bagi penumbuk kat
dia. Lebam mata dia seminggu tu.” Qairina menggeleng sendiri sambil
mengeluarkan kunci rumahnya.
“Tak rugi aku belajar tae kwon do dulu. Ada jugak yang jadi
mangsa aku. Hakim tu biadap! Dia ingat kawan baik aku ni murah? Dia datang
lagi, tahulah aku nak ajar dia macam mana.” Aliya bersuara geram.
“Dia takkan datang lagilah.”
Qairina bersuara sambil duduk di sofa.
“Mana kau tahu?” soal Aliya ingin
tahu.
“Knowing him for years, he wouldn’t do so.” Qairina tersenyum tanpa
perisa. “Dan aku tahu dia bakal kena kejar dengan kayu pulak kayu dia datang
sekali lagi.” Sempat dia berjenaka.
“Tak adanya, aku call je polis terus.” Aliya ketawa
kecil. Kemudian dia mengalih pandang pada Qairina. “Tapi, dia buat apa kat
sini? What happened to Nurin?”
Qairina mengeluh perlahan dan
mengangkat bahu tanda tidak tahu. “I
don’t care, Liya. And I don’t even
want to know.” Dia bangkit dan berlalu ke biliknya. Aliya juga mengeluh
perlahan. Apalah yang akan jadi selepas ini agaknya?
Qairina duduk bermain dengan
telefon bimbitnya di meja yang terletak di tepi tingkap. “Nina?” Satu suara
menegurnya. Qairina mengangkat wajahnya dan menghadiahkan senyuman pada pemilik
suara tersebut.
“Mana Aliya?”
“Saya tinggal dia kat rumah. Sebab
tu saya ajak awak keluar pagi-pagi ni. Awak belum masuk kerja lagi, kan?” soal
Qairina.
Rifiqi menggeleng dan mengamil
tempat di hadapan Qairina. “Ada apa?” soalnya.
Qairina mengeluarkan sampul surat
dan menyerahkannya pada Rifqi.
“Apa ni?” soal Rifqi.
“Nombor telefon dengan alamat parents saya dekat Malaysia. Ayah awak
dengan Nisha kat Malaysia, kan sekarang? So,
lagi senang nak berurusan. Saya dah bagitau ayah saya apa yang patut, so it’s your turn now.” Qairina
menerangkan.
“So, is it a yes?” soal Rifqi dengan senyuman lebar.
“It’s up to you how you want to interpret it. Yang penting saya dah
bagi jawapan, kan?” Qairina membberi jawapan ringkas.
“So, inilah sebab kenapa awak tak nak balik pada saya, ya?” Satu
suara tiba-tiba menyampuk perualan antara mereka.
“What are you doing here, Hakim?” Qairina yang mulanya terkejut
membalas marah.
“Nak tahu kenapa awak reject saya? Awak nak balas dendam pada
saya, kan? Sebab saya tinggalkan awak dan pilih Nurin? Awak ni pandai betul
buat lawak. Kalau ya pun awak nak bagi saya cemburu, tak payahlah pakai lelaki
macam ni? Tengok pun saya dah tahu he’s
nothing. At least saya dulu pilih Nurin, she’s better than you.” Hakim bersuara lantang.
“Nina, siapa ni?” soal Rifqi.
“Aku bekas tunang dia. Dia tak
pernah cerita ke? Kitorang pernah bertunang dulu, tapi tak jadi kahwin. Have been a history for years.” Hakim
menjawab bagi pihak Qairina.
“Oh, bekas tunang? So, apa hak kau untuk cakap yang
bukan-bukan pada bakal isteri aku?” soal Rifqi lagi.
“Well, aku tinggalkan dia untuk
perempuan yang lebih baik. Tapi dia tinggal aku untuk lelaki macam kau. Bakal
isteri kau tu bekas tunang aku. So what?”
Hakim menjawab selamba sebelum dia basah disiram air coklat suam yang berada
dalam gelas yang sudah kosong di tangan Qairina.
“You really need to do something about your brain, Hakim. Please back
away before I do something else.” Qairina bersuara lantang.
Hakim mengesat wajahnya yang basah
dengan air coklat tersebut. Nasib baik bukan air panas yang disiram oleh
Qairina ke tubuhnya. “You better watch
your attitude, Qairina!”
“Look who’s talking. Sekali lagi awak muncul depan mata saya, saya
tak akan teragak-agak untuk call
polis. Remember that!” Qairina
berlalu sambil diikuti oleh Rifqi. Setelah agak lama berjalan, Qairina akhirnya
duduk di sebuah kerusi berhampiran.
Seketika kemudian, Rifqi muncul di
situ. “Saya teman awak balik rumah?” Rifqi mempelawa.
“Thanks.” Qairina menjawab sebelum bangkit dari duduknya.
“Are you okay?” soal Rifqi setelah agak lama mereka menyepi.
“Saya minta maaf. Hakim tu…”
Kata-kata Qairina segera dipotong
oleh Rifqi. “Saya dah tahu semuanya fasal Hakim. So, don’t bring back your bitter memory about him, okay? Kalau dia
datang jumpa awak lagi, just tell me.
I’ll do something about him.”
“Uish, awak pasang spy ke?” soal Qairina cuba berjenaka.
“Lebih kurang. Tapi, spy ni volunteer nak cerita. Saya tolong dengar je.” Rifqi menjawab.
“Huh? Siapa? Nisha? Tapi saya tak
pernah cerita apa-apa pun kat Nisha?” soal Qairina lagi.
“Bukan Nisha.” Rifqi menafikan.
“Dah tu?” soal Qairina ingin tahu.
“Tu.” Rifqi menunjuk pada Aliya
yang sedang melambai mereka dari balkoni biliknya. Qairina mengerut dahi. “Awak
ingat dia saja-saja ke datang bercuti kat sini?” Rifqi tersenyum kecil. “I’ll see you tomorrow. Assalamualaikum.”
Rifqi terus sahaja berlalu pergi meninggalkan Qairina yang masih terpinga-pinga
di situ.
bersambung...
Subscribe to:
Posts (Atom)