Anda mempunyai karya nukilan sendiri? Berminat untuk dipaparkan dan menjadi penulis jemputan di Warna Kaseh? Hantarkan karya anda di warnakaseh@gmail.com. Kami akan menerima semua genre penulisan dan juga bahasa.
ZINE SULUNG WARNA KASEH SUDAH BERADA DI PASARAN. HANYA DENGAN RM8, ANDA BOLEH MEMBACA 32 CERPEN TERBAIK PENULIS WARNA KASEH DI ZINE PILIHAN! JADI APA TUNGGU LAGI? TIADA CETAKAN KE-DUA UNTUK ZINE INI. BELILAH SEMENTARA MASIH ADA STOK.

UNTUK MEMBELI ZINE PILIHAN, ANDA BOLEH MERUJUK DI BAHAGIAN ZINE.

Sunday 1 April 2012

Sebuah Pertunjukan

Ada sebuah tempat yang tersinkron dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di balik pintu sebuah bilik kamar dengan segala kesederhanaan tataruangnya, di situlah kejadian tersebut berlangsung.

“Waktu, terimakasih atas kesempatan yang kau beri. Aku bisa menangis karena kesepian, tertawa karena sebuah kejadian, dan tersenyum…walau sekadar untuk melihat putaran detik jarum jam”.

Aku adalah Kiri, pemikiran seorang anak laki-laki penduduk Mars. Tapi , pikiranku terkadang berkonflik tentang suatu pertimbangan keputusan antara logika dengan perasaan atas tindakan yang akan kulakukan. Seperti ragu untuk memilih antara sekadar pergi main basket empatpuluh lima menit, atau push up tigapuluh kali; berangkat kuliah melalui jalan atas, atau lewat jalan utama saja.

“Waktu, terkadang logikaku berkata bahwa aku harus melakukan sesuatu ketika aku bosan makan sayur tanpa garam. Rutinitas dan aktifitas yang biasa aku lakukan terasa hambar, tak berasa seperti biasanya. Ada yang hilang atau kurang. Mungkin aku bosan duduk sendirian di sini, melihat teman-temanku berakrobat di atas panggung.
Aku ingin memiliki peran penting, Waktu… Entah di panggung ini, atau di tempat dalam cerita yang lain, meskipun aku hanya duduk di kursi penonton saja”.

Aku mencoba untuk membuka suatu pertunjukan dengan bermain akrobat. Di setiap akhir pertunjukanku, kadang aku mendapat tepuk tangan meriah, atau malah sorakan mengejek dari penonton karena aku tak melakukan akrobat dengan baik. Inilah warna kehidupan, warna dari sebuah pertunjukanku. Tak selamanya berwarna hitam, putih, atau satu warna lainnya saja.

Ada satu hal yang menarik perhatianku. Suatu hari di akhir pertunjukanku yang sedang bagus, aku mendapat tepuk tangan meriah dari penontonku. Tapi ketika aku melihat di antara mereka semua, ada tepuk tangan seseorang yang terdengar lembut berperasaan. Aku beri senyum dan sapa padanya dari kejauhan. Aku harap, dia tau itu untuknya. Siapakah gerangan dirinya? Aku berharap dapat melihat dia lagi di lain kesempatan.

Memang inilah hukum alam, tak selamanya apa yang kita inginkan atau diharapkan terus tercapai. Terkadang kita harus merangkak, berjalan, atau bahkan berlari bila ingin mempertahankan keinginan dan harapan kita tercapai. Pada beberapa pertunjukan berikutnya, dia tak hadir dalam pertunjukan. Mungkin dia belum ada waktu luang untuk ke sini, tapi aku tetap berharap dia akan datang menonton kembali.

Walaupun kehadirannya tak ada lagi di sini, aku terus bermain dengan baik semampuku. Napasku memendek, badanku panas bermandikan keringat. Aku tidak ingat lagi sudah berapa lama tubuh ini tergeletak di atas panggung. Yang kutau lampu panggung telah padam, kursi penonton telah sepi —pertunjukanku telah usai.

Di tengah napasku yang terputus-putus karena kelelahan, terdengar suara langkah seseorang mendekatiku. Sosoknya terlihat samar karena kurang pencahayaan, tapi sudah cukup untuk kukenali. Dia adalah si Penonton yang aku cari selama ini! Penonton yang memberikan nyawa kehidupan ketika aku bergerak tanpa nyawa dalam pertunjukan. Sepertinya aku melewatkan dia yang ternyata hadir pada malam itu. Dia mendekat dan memberikan sebuah amplop. Padahal ini pertunjukan amal. Aku tak berharap menerima sebuah imbalan atau sekadar menyimpan sebuah rencana lain dibaliknya. Kuterima saja dengan pasrah. Dia pun berlalu tanpa kata, mengembalikan hening yang sempat menghilang beberapa saat tadi.

Aku bangkit dan duduk untuk melihat isi dalam amplop tersebut dengan perasaan berdebar. “Ana Uhibbu Ilaika”, satu kalimat itu saja yang tertulis dalam amplop tadi. Sebuah kalimat yang tak kumengerti, namun tersirat perasaan hangat yang tersurat saat tiap kali aku membacanya. Aku ingin tau arti kalimat ini!

Pada suatu hari dalam khotbah Jumat, khotib berkhotbah tentang perkara dari suatu niat. “Ana Uhibbu Ilaika, aku mencintaimu karena Alloh. Maka, Alloh akan memberikan kesempatan yang terbaik untuk kamu ambil dan lakukan, atau kamu biarkan lewat”. Aku teringat pesan dalam amplop itu. Jadi itu artinya! Alhamdulillah, Alloh telah memberiku jalan agar aku mengetahui maksud pesan tersebut. Subhanalloh….

Pada pertunjukan berikutnya, aku berakrobat lebih semangat dan lincah. Dialah pemberi nyawa semangat dalam setiap pertunjukanku, kapanpun dia ada waktu.

Penonton itu bernama Nana. Aku bisa menjadi hebat di panggung, itu karena kamu adalah wanita terhebat yang setia menyemangatiku dari kursi penonton.

3 comments

aku mencintainya kerana Allah.

Penulis dari Indonesia?

yup, penulis jemputan dari indonesia.

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...